Berikut artikel / makalah yang saya susun sendiri guna memenuhi tugas kuliah, adapun materinya terkait sejarah dan kedudukan KHES di dalam hukum positif Indonesia dan meninjau fungsi KHES dalam produk perbankan syariah yakni produk gadai dan rahn. Semoga bermanfaat, bagi yang membutuhkan referensi terkait.
1.
Pendahuluan
Sejak zaman proklamasi sampai dekade
1990-an, kata syariah dianggap tabu untuk dimasukkan dalam khazanah
perundang-undangan. Stigma “syariah” dalam wacana politik dan hukum
barangkali karena adanya kekhawatiran bahwa implementasi syariah akan
menuju kepada pembentukan negara Islam. Namun dengan perkembangan yang terjadi
pada masa akhir dari rezim Orde Baru, pemerintah dan kebijakan politik hukum
nasional mulai “toleran” dengan kata tersebut, dan Seiring perkembangan, Hukum
Islam menempati posisi yang sangat penting dalam Hukum di Indonesia.
Implementasi hukum syariah di indonesia sebenarnya sudah diterapkan dalam Hukum
positif sejak Orde lama, dan banyak menyangkut lingkup hukum perdata, seperti
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 17 dan 38 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Pengelolaan Zakat, dan lainnya[1].
Hukum Syariah di indonesia menjadi salah
satu imstrumen penting sebagai sebagai sumber dan acuan hukum nasional. Seperti
pada Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), yangt merupakan sekumpulan sumber
hukum Islam dari berbagai sumber dan mazhab terkait bidang Ekonomi dan muamalah
yang dihimpun dalam peraturan hukum secara lengkap yang disusun secara sistematik
guna sebagai dasar hukum formal yang berfungsi agar dalam praktik dan dalam
pengambilan keputusan sengketa ekonomi Islam di Indonesia, ada dasar acuan dan
keseragaman hukum.
Disamping
itu, ”positifisasi” hukum perdata Islam merupakan realisasi impian sebagian
umat Islam sejak zaman dulu yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda masih
diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang notebene adalah
terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan Kolonial Belanda.
Positifisasi
hukum muamalat sudah menjadi keniscayaan bagi umat Islam, mengingat praktek ekonomi
syari’ah sudah semakin semarak melalui LKS dan perbankan saat ini. Kompilasi
tersebut kemudian dijadikan acuan dalam penyelesaian perkara-perkara ekonomi
syari’ah yang semakin hari semakin bertambah, seiring dengan perkembangan LKS
dan Perbankan. Adapun lembaga peradilan yang berkompetensi dalam penerapan KHES
adalah Peradilan Agama (PA), karena secara materiil, KHES adalah hukum Islam,
sebagaimana wewenang PA dalam pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
sebelumnya melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991.
1.
Rumusan masalah
1)
Bagaimana Sejarah
KHES di Indonesia ?.
2) Bagaimana
Kedudukan KHES dalam Hukum Ekonomi di indonesia ?.
3) Contoh
produk Perbankan Syariah dengan membandingkan dasar hukum antara KHES dan UU.
(Perbandingan Undang-Undang Perdata Gadai dan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Rahn .
1.
Pembahasan
1.
Bagaimana Sejarah KHES di Indonesia ?
Lahirnya KHES
berawal dari terbitnya UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA). UU No.3 Tahun 2006 ini memperluas kewenangan
PA sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan umat Islam Indonesia saat
ini. Dengan perluasan kewenangan tersebut, kini PA tidak hanya berwenang
menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan
sadaqah saja, melainkan juga menangani permohonan pengangkatan anak (adopsi)
dan menyelesaikan sengketa dalam zakat, infaq, serta sengketa hak milik dan
keperdataan lainnya antara sesama muslim, dan ekonomi syari’ah. Kaitannya
dengan wewenang baru PA ini, dalam Pasal 49 UUPA diubah menjadi[2]:
”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara oirang-orang yang beragama Islam di bidang[]: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah.” Penjelasan untuk huruf i (ekonomi syari’ah): ”Yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah; c. asuransi syari’ah; d. resuransi syari’ah; e. reksadana syari’ah; f. obligasi dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.”
Setelah UU No. 3/2006 tersebut diundangkan maka
Ketua MA membentuk Tim Penyusunan KHES berdasarkan surat keputusan Nomor:
KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006 yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul
Manan, S.H., S.I.P., M.Hum. Tugas dari Tim tersebut secara umum adalah
menghimpun dan mengolah bahan (materi) yang diperlukan, menyusun draft naskah,
menyelenggarakan diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan
lembaga, ulama dan para pakar, menyempurnakan naskah, dan melaporkan hasil
penyusunan tersebut kepada Ketua MA RI[3].
Sementara itu yang menjadi dasar rujukan
sumber hukum dalam KHES, meliputi beberapa kitab fiqh, peraturan undang-undang
yang telah ada, dan juga PSAK.
Adapun
Sumber-sumber yang dimaksud antara lain :
1) Al
fiqh al Islami wa Adhilatuhu, karya Wahbah al
Zuhaili.
2) Al Fiqh Al Islami
fi Tsaubihi al jadid, karya Mustafa Ahmad Zarqa.
3) Al Muammalat al
madiyah wa al Adabiyah, karya Ali Fikri.
4) Al wasith fi syarh al
qanun al madani al jadid, karya.
Abd al Razaq ahmad al Sanhuri.
5)
Al muqarat al tasyriyyah baina al qawaniin al wadhiyah
al madaniyah wa al
tasyri’ al islami karya sayyid Abdullah
Al husaini.
6) Durar al Hukam;
Syarah Majjalat al ahkam,karya Ali Haidar.
7)
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional.
8)
Peraturan Bank Indonesia tentang Perbankan.
9)
PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) No.59 tanggal
1 Mei 2002 tentang Perbankan Syariah. “(Pusat Pengkajian
Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM),
Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari’ah”, (Jakarta : Kencana, 2009).
Secara sistematik Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES) terbagi dalam 4 buku masing-masing:
1. Tentang Subjek Hukum dan Amwal, terdiri atas 3 bab
(pasal 1-19)
2. Tentang Akad terdiri dari 29 bab (pasal 20-673)
3. Tentang Zakat dan Hibah yang terdiri atas 4 bab
(pasal 674-734)
4. tentang Akuntansi Syariah yang terdiri atas 7 bab
(pasal 735-796) (PERMA Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah).
Dilihat dari
kandungan isi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah di atas, dari 796 pasal, sejumlah
653 pasal (80 %) adalah berkenaan dengan akad atau perjanjian, dengan demikian
materi terbanyak dari ketentuan-ketentuan tentang ekonomi syariah adalah
berkenaan dengan hukum perikatan (akad).[4]
Namun, bila kita melihat dari UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7Tahun 1989 tentang Peraadilan Agama, ruang lingkup Ekonomi Syariah meliputi : bank syariah, lembaga keuangan mikro ekonomi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah pembiayaan syariah, pegadaian syariah dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
1.
Bagaimana Landasan dan Kedudukan KHES dalam Hukum
Ekonomi di indonesia ?
Lahirnya
Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 9 tahun 1989
tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar terhadap kedudukan dan
eksistensi Peradilan Agama di Indonesia. Disamping kewenangan yang telah
diberikan dalam bidang Hukum Keluarga Islam, peadilan Agama juga diberi
wewenang menyelesaikan perkara dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi
perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi
syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, dan surat berharga berjangka
menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah,
dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.
Sehubungan dengan
kewenangan baru peradilan Agama, Mahkamah Agung RI menetapkan beberapa
kebijakan antara lain pertama : memperbaiki
sarana dan prasarana lembaga peradilan Agama baik hal-hal yang menyangkut fisik
gedung maupun hal-hal yang menyangkut peralatan, kedua : meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM)
peradilan Agama dengan mengadakan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi
untuk mendidik para aparat peradilan Agama, terutama para Hakim dalam bidang
ekonomi syariah, ketiga : membentuk
hukum formil dan materil agar menjadi pedoman bagi aparat peradilan Agama dalam
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ekonomi syariah, keempat :
memenuhi sistem dan prosedur agar perkara yang menyangkut ekonomi syariah dapat
dilaksanakan secara sedarhana, mudah dan biaya ringan.
Ke empat kebijakan
mahkamah Agung di atas merupakan pilar utama kekuasaan kehakiman dalam
melaksanakan fungsi peradilan yang diamanatkan pasal 24 UUD 1945 jo. UU No. 4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.[5]
Benar-benar berlaku ungkapan different judge different sentence, lain hakim lain pendapat dan putusannya. KHES diterbitkan dalam bentuk peraturan mahkamah agung (perma) No. 2 tahun 2008 tentang kompilasi hukum ekonomi syariah. KHES ini sudah mengalami penyesuaian penyesuaian ketentuan syariah yang sudah ada, semisal fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional).[6]
1.
Perbandingan Undang-Undang Perdata Gadai dan Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah Rahn
a.
Undang-Undang Perdata Gadai
Defenisi
gadai secara umum menurut Pasal 1150 KUH Perdata, gadai adalah :
“Suatu
hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh kreditur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan
yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari
barang itu dengan mendahalui kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya
penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan rnengenai pemilikan atau
penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang
itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan.”
Dari
definisi di atas, gadai mengandung beberapa unsur pokok antara lain[7] :
1). Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas barang
gadai kepada kreditur pemegang gadai;
2). Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitur atau orang lain atas
nama debitur;
3). Barang yang menjadi objek gadai hanya barang bergerak, baik
betubuh maupun tidak bertubuh;
4). Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari
barang-barang gadai lebih dahulu daripada kreditur-kreditur lainnya;
Sedangkan Objek gadai adalah segala benda bergerak, baik betubuh
maupun tidak bertubuh, hal ini dapat dilihat dalam pasal 1150-1153 ayat 1,
1152, dan 1153 KUHPerdata. Namun benda bergerak yang tidak dapat
dipindahtangankan ridak dapat digadaikan[8]
b.
Hukum Ekonomi Syariah terkait Rahn
Menurut bahasa, rahn (ﺮﻫﻥ)
berarti tetap, kekal dan berkesinambungan. Rahn juga bermakna al-habsu (ﺍﻟﺤﺒﺲ) yang berarti menahan atau jaminan[9].
Akad rahn dalam istilah terminologi
positif disebut dengan barang jaminan, agunan dan runggahan. Dalam islam rahn
merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat Islam, tanpa adanya imbalan[10].
merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab
I tentang Ketentuan Umum pasal 20 ayat 14 dinyatakan bahwa Rahn/gadai adalah :
”Penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”
Sifat
Hukum Rahn Sesuai dengan Fatwa DSN MUI nomor 25DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
serta Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 343,
bahwa murtahin selaku peneriman harta gadai mempunyai hak untuk menahan marhun
sampai semua utang râhin dilunasi. Oleh sebab itu, apabila barang jaminan telah
dikuasai oleh murtahin selaku pemberi utang maka akad rahn bersifat
mengikat.serta tidak dapat dibatalkan secara sepihak oleh râhin.
Sementara
itu terkait pemanfaatan barang Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal 357 dinyatakan : “Penerima gadai tidak
boleh menggunakan harta gadai tanpa seizin pemberi gadai(selanjutnya dibaca :
râhin) .”
Terkait dengan Biaya pemeliharaan
Merujuk pada Buku 2 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bab XIII tentang Rahn pasal
362 dinyatakan : ”Pemberi gadai bertanggung jawab atas biaya
penyimpanan dan pemeliharaan harta gadai, kecuali ditentukan lain dalam akad.”
a)
Rahn dalam hukum Islam
dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong dan tidak menarik
keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
b)
Di dalam pegadaian
konvensioanal, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai
sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman. Sedangkan dalam rahn hanya
diperkenankan untuk mengambil sejumlah dana dari biaya perawatan dan sewa atas
pemeliharaan.
c)
Pegadaian konvensioanal hanya
melakukan satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang bergerak
yang bisa ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan
dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensioanal bisa tidak
melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia.
Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan
barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpanan.
d) Gadai
menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga (perum pegadaian),
dan rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu
lembaga.
e) Kelebihan uang hasil dari
penjualan barang pada pegadaian syariah tidak diambil oleh nasabah, diserahkan
kepda lembaga ZIS, sedangkan pada gadai konvensional kelebihan uang hasil
lelang barang tidak diambil oleh nasabah tetapi menjadi pemilik pegadaian.Dan
didalam Lembaga Keuangan Syariah, transaksi rahn dapat dilakukan dengan
dua cara, 1) Sebagai produk pelengkap 2) Sebagai produk
tersendiri.
Untuk lebih lengkapnyanya,
dibawah ini akan dibedakan mengenai variabel biaya dalam pegadaian konvensional
dan Pegadaian syariah.
Variabel
biaya dalam Pegadaian konvensional meliputi:
1) Biaya administrasi yang ditetapkan sebesar 1% dari
uang pinjaman.
2) Biaya sewa Modal yang dihitung sebagai berikut:
a. Pinjaman kurang dari Rp.
20.000.000,- dengan masa
pinjam setiap 15 hari sebesar 1,25%.
b. Pinjaman lebih dari Rp.
20.000.000,- dengan masa
pinjam setiap 15 hari sebesar 1%.
Variabel
biaya dalam Pegadaian syariah meliputi Biaya administrasi yang ditetapkan
sebagai berikut:
Rp. 20.000 – Rp.
150.000 = Rp. 1.000
Rp. 155.000 – Rp.
500.000 = Rp.
3.000
Rp. 505.000 – Rp.
1.000.000 = Rp. 5.000
Rp. 1.050.000 – Rp.
10.000.000 = Rp. 15.000
Rp. 10.050.000 – dan
seterusnya = Rp. 25.000
Biaya Jasa Simpan yang dihitung per
10 hari
Berikut disajikan table perbedaan
teknis antara Pegadaian syariah dan Pegadaian konvensioanal:
4.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang paling mencolok
antara Gadai dan Rahn terletak pada tujuannya yang mana dalam gadai aspek yang
ditonjolkan adalah mencari keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan, lain halnya dengan Rahn pada Pegadaian Syariah dilakukan secara
sukarela atas dasar tolong-menolong, adapun biaya yang dipungut hanya semata
untuk biaya administrasi, perawatan, dan pemeliharaan barang.
Pegadaian konvensioanal hanya melakukan
satu akad perjanjian, hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang bisa
ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai
bersifat acessoir, sehingga Pegadaian konvensioanal bisa tidak melakukan
penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia.
Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan
barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpanan.
Kelebihan uang hasil dari penjualan barang
pada pegadaian syariah tidak diambil oleh nasabah, diserahkan kepda lembaga
ZIS, sedangkan pada gadai konvensional kelebihan uang hasil lelang barang tidak
diambil oleh nasabah tetapi menjadi pemilik pegadaian.
[1] Abdul Mughits, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah”, Dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII tahun 2008.
[2] Ramdlon Naning, “Penyelesaian sengketa dalam
Islam”, Dalam jurnal Varia Advokat, VI, 2008, hlm.29-30.
[3] http://ilma92.blogspot.com/2014/01/kompilasi-hukum-ekonomi-syariah.html
[4] Badilag dan Pokja Perdata Agama Lakukan Kajian
Buku KHES // www.badilag.net
[5] Dr. Mardani, (Dosen pascasarjana Islamic
Economics & Finance (IEF) Universitas Trisakti), “Kedudukan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariahdi di indonesia”, jurnal
Islamic Economics & Finance (IEF) Universitas Trisakti, Selasa, 04 Mei
2010.
[6] Ibid.
[7] Purwahid Patrik dan Kashadi, 2003, “Hukum jaminan”, Fakultas Undip, Hlm.13.[8] Purwahid Patrik dan
Kashadi, 2005, “Hukum jaminan”,Edisi
Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum UNDIP, Hlm.17.[9] Wahbah Al-Zuhaili. 2004. “Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu”
[10] Nasrun Haroen. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama. hal 251.
Daftar Pustaka
Al-Zuhaili, Wahbah,
2004. “Al-fiqh al-islâmi wa adillatuhu”.
Badilag dan
Pokja Perdata Agama Lakukan Kajian Buku KHES //
www.badilag.net.
Dr. Mardani, (Dosen pascasarjana Islamic Economics & Finance (IEF)
Universitas Trisakti), “Kedudukan
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariahdi di indonesia”, jurnal Islamic Economics
& Finance (IEF) Universitas Trisakti, Selasa, 04 Mei 2010.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta : Gaya Media Pratama.
Mughits, Abdul “Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah”, Dalam Jurnal
Al-Mawarid Edisi XVIII tahun 2008
Naning, Ramdlon, “Penyelesaian sengketa dalam Islam”, Dalam jurnal Varia
Advokat, VI, 2008, hlm.29-30.http://ilma92.blogspot.com/2014/01/kompilasi-hukum-ekonomi syariah.html.
Purwahid Patrik dan
Kashadi, 2003, “Hukum jaminan”,
Fakultas Undip.
Purwahid Patrik dan
Kashadi, 2005, “Hukum jaminan”,Edisi
Revisi dengan UUHT,
Fakultas Hukum UNDIP.