Recent Posts


[Makalah] “Memahami Bid’ah dalam Islam”

Oleh : Rusmin Afandi Madjid

Pendahuluan
 
Islam adalah agama yang bersifat komperhensif, karena hal-hal yang mencakup kehidupan dan hukum telah diatur dan termuat dalam Al-quran maupun As-sunnah. Islam dalam sejarah kemunculannya sebagai suatu ajaran yang memberikan konsep, Petunjuk, dan pedoman kepada manusia, dan juga beserta norma dan tata caranya. Dengan demikian Islam berfungsi untuk menjaga dan memelihara integritas kehidupan manusia agar tidak kacau. Islam berfungsi sebagai alat pengatur untuk mewujudkan keutuhan hubungan baik secara vertikal dengan Rabbnya, maupun hubungan horizontal antarsesama manusia dan juga dengan alam sekitarnya. 


Sebagai ajaran tauhid, Islam mengajak manusia untuk meng-esa-kan dzat , sifat, dan af’al Allah yang sering disebut keimanan. Mengimani Allah SWT, bagi manusia sudah menjadi kodrat yang telah ada seumur manusia itu sendiri. Sejak manusia berada dalam alam ruh semuanya telah menyatakan diri bahwa Allah SWT adalah Rabb yang berhak diimani dan diibadati, hal ini telah digambarkan Al-quran :

 “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah aku ini Tuhanmu ?’,mereka menjawab, ‘betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”….(Al-A’raf 172).
Namun pada umumnya manusia lupa atau mengingkari asal kejadiannya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya. Mereka menerima ajaran tersebut dalam berbagai tingkat kemampuan, presepsi, dan interpretasi masing-masing, sehingga timbul aliran dan pandangan, bahkan pertentangan yang bermuara pada terbentuknya golongan-golongan dan paham yang berbeda. Manusia cenderung mengolah pedoman dan bimbingan itu bukan dengan menggunakan petunjuk pelaksanaan yang telah disediakan Allah dan di perinci-pertegas oleh rasul Allah, namun menafsirkan pedoman tersebut semata-mata berdasarkan kontekstual dan rasio akal dan hawa nafsu semata, yang pada akhirnya membawa manusia itu dalam kesesatan dan pada akhirnya akan melunturkan kemurnian akidah dan ketauhidan Islam.

Realitas sebagaian kehidupan masyarakat Islam, khususnya di Indonesia, kini telah mengarah dan cenderung mempertahankan pada faham ketradisian, kepribumian (nativisme), sebagaian lagi mengarah pada perbuatan syirik atau bid’ah. Hal ini karena faham animisme, dinamisme , atau tradisi ritual lainnya yang sudah lama berakar sebelum Islam masuk ke Nusantara. Kini banyak umat Islam yang melakukan praktik ibadah yang sudah mencampur dan menggabungkannya dengan tradisi dan ritual yang bertentangan dengan ajaran Islam dan tanpa disadari sudah tergolong dalam perilaku bid’ah,dan khurafat. Bahkan praktik-praktik demikian sudah dianggap menjadi inti ibadah meraka dan harus terus dipertahankan.

Untuk lebih memahami dan memperjelas pemahaman terkait bid’ah, maka pada makalah ini akan dibahas seputar lingkup bid’ah, yakni berkaitan dengan terminologi bid’ah menurut syariah, macam-macam bid’ah, dan terakhir akan diberikan beberapa contoh perbuatan bid’ah di Indonesia yang sampai saat ini masih terus berlangsung dan dipertahankan oleh masyarakat kita. 

 Rumusan Masalah 

1. Apa yang dimaksud dengan Bid’ah ? 
2. Apa saja macam-macam bid’ah dalam Islam ? 
3. Contoh perbuatan apa saja yang tergolong bid’ah di Indonesia ? 

Pembahasan

1. Apa yang dimaksud dengan Bid’ah ? 
 
Pengertian bid’ah dari segi bahasa, yang dikemukakan oleh Syekh Ali Mahfudh, yakni : [Badruddin Hsubky, “Bid’ah-bid’ah di Indonesia”:1996,cet.5),hlm.28].


“Segala sesuatu yang diciptakan dengan tidak didahului contoh-contoh”
Sementara Itu Bid’ah dari segi Istilah menurut Syekh Ali Mahfudh, yaitu :

“Bid’ah ialah suatu ibarat (gerak dan tingkah laku lahir batin yang berkisar pada masalah-masalah agama (syari’at Islamiyah) dilakukannya menyerupai syari’ah dengan cara yang berlebihan dalam pengabdian kepada Allah SWT” 
Dengan demikian yang dinamakan bid’ah ialah suatu hal baru yang tidak terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, atau dengan kata lain perbuatan maupun perkataan yang dianggap suatu cara agama, padahal itu hanya bersumber dari rasio dan akal manusia itu sendiri dan sama sekali tidak pernah diterangkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Baik berkaitan dengan akidah maupun  syariah yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam Al-quran dan As-sunnah secara tafshil (rinci). Adapun yang berkaitan dengan urusan muamalah atau sosial seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia, seperti ekonomi, politik, negara, kedokteran, penemuan modern dan lain-lain tidak bisa masuk dalam kategori bid’ah  (dalam arti bid’ah dalalah). [Badruddin Hsubky, “Bid’ah-bid’ah di Indonesia”:1996,cet.5),hlm.30].

Bid’ah juga terdapat dalam ajaran-ajaran Islam yang lain, misalnya dengan membuat tradisi dan peraturan-peraturan yang dikehendaki manusia untuk selanjutnya dinisbatkan sebagai ajaran agama. Dengan dasar ini bid’ah tidak hanya mencakup ibadah namun juga keduniaan. Hanya apabila tujuan daripada membuat model-model baru menyangkut keduniaan dan tidak menyerupai dan menggunakan cara-cara agama, maka tidak dikategorikan bid’ah, namun harus juga dilihat dari kacamata syariah dengan pertimbangan yang cermat dan demi kemaslahatan umat.[Asy Syaikh Mohammad Al-Ghazaly, “Bukan dari Ajaran Islam (Taqlid, Bid’ah, & Khufarat), diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy:1994, cet.4),hlm.89].
    
Inti dari masalah yang berkaitan dengan bid’ah yakni kita harus bisa memisahkan antara urusan yang berkenaan dengan ibadah dan akidah dengan hal-hal yang menyangkut urusan keduniaan, jika dalam urusan ibadah sebagaimana yang telah digariskan oleh nash agama tidak ada sedikitpun tempat untuk dibanding-bandingkan atau dicampur adukan dengan kebiasaan, perkataan, atau tradisi model baru yang tidak ada ketentuan atau diatur dalam syara’, berbeda dengan urusan kemasyarakatan atau keduniaan, agama tidak akan membatasi ruang geraknya baik bentuk maupun teknisnya, semua diserahkan kepada umat itu sendiri, mana yang dianggap layak dan baik untuknya.

Allah menyerukan manusia agar mengikuti syari’at Islam dan melarang manusia memilih jalan sesat, yang telah menyimpang dari jalan Allah, Allah berfirman :


“ Dan bahwa (yang kami perintahkan), ini jalanku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu menceraberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa” (Al-An’am:153).

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31). 

Dalam dalam surah An-nisa’ ayat 115, Allah bahkan mengancam orang-orang yang tidak mengikuti jalan-Nya, Allah berfirman : 


“ Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan-jalan yang bukan jalan orang mukmin, kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS An-nisa’: 115).
 Ayat lain yang menyeru akan azab kepada orang-orang yang tidak menjalani perintah Allah dan Rasul, Allah berfirman :

“ Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”(QS. An-nur : 63).

“ Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya” (QS.Al-Jinn:23).

Sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat maupun hadis yang menyerukan untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan hukuman yang akan diganjarkan bagi yang melanggarnya.

 
2. Apa saja macam-macam bid’ah dalam Islam ?

 
Di atas telah dijelaksan bahwa bid’ah merupakan amalan yang menyerupai ibadah, dan dilakukkan dengan berlebih-lebihan dan menamba-nambah dengan cara yang batil.

 
Pengaruh bid’ah itu bertingkat. Karena itu bid’ah dapat dibagi dalam beberapa tingkatan. Secara umum baik oleh golongan pertama (ahli ushul), maupun oleh golongan kedua (ahli fiqh), semufakat menggolongkan bid’ah menjadi beberapa kategori, yakni :


1) Fi’liyah : (melakukan sesuatu perbuatan) 


2) Tarkiyah : (meninggalkan sesuatu perbuatan) Kedua bid’ah di atas memiliki hubungan , yakni jika ada sesuatu i’tibar yang di I’tibarkan syara’. ataupun adakalanya tidak. Jika ada suatu I;tibar yang di I’tibarkan syara’ maka tidak ada salah ia tinggalkan, seperti seseorang mengharamkan untuk dirinya makan semacam makanan, karena dapat berakibat buruk terhadap kesehatannya, demikian juga jika dia tinggalkan sesuatu, namun tidak ada salahnya juga apabila dikerjakan, misalkan : seorang suami tidak mau tidur setempat dengan (istrinya yang sedang haidl), karena takut tidak dapat menahan nafsu.  Contoh lain agar lebih memperjelas yakni, seperti para penduduk Istanbul yang tidak mau makan daging merpati dan menjelek-jelekkan orang yang memakannya lantaran telur-telurnya menetas di dalam masjid-masjid dan rumahrumah, padahal dalam Islam memakan daging merpati tidak diharamkan, maka apabila jika memandang merpati dari sisi keharaman, maka yang demikian disebut bid’ah tarkiyah, karena mengharamkan yang dihalalkan Allah. 

3) Amaliyah : Bid’ah-bid’ah yang dikerjakan oleh 5 panca indera, namun tidak pernah dikerjakan atau dicontohkan Nabi. 

4) I’tiqadiyah : yakni bid’ah yang berkaitan dengan kepercayaan (I’tiqad) yang berlawanan dengan yang diteriman dari Rasulullah SAW, karena suatu kesamaran, seperti kepercayaan orang syiah, wajib menyapu kaki tak boleh menyapu sepatu, ataupun seperti I’tiqad kaum musyabbihah, yang menyerupakan Tuhan dengan makhluk. 

5) Zamaniyah : Meletakkan ibadat di masa tertentu. 

6) Makaniyah : Meletakkan sesuatu ibadat di tempat tertentu. 

7) Haliyah : Meletakkan sesuatu ibadat dalam keadaan tertentu. Maksud dari ketiga bid’ah di atas yakni Meletakkan sesuatu ibadah di masa tertentu, atau di tempat tertentu, atau dalam keadaan yang tertentu, semisal bid’ah yang terjadi dalam perayaan-perayaan Maulid, perhelatan, hari-hari raya dan musim; dan seperti bid’ahbid’ah yang terjadi di masjid-masjid, ditempat-tempat kematian, di kuburan-kuburan dan seperti bid’ah yang terjadi dalam perjamuan, dalam ibadat, dalam pergaulan, dalam beberapa adat dan kepercayaan. 

8) Haqiqiyah : Sesuatu pekerjaan yang semata-mata bid’ah, tidak ada sedikit juga perpautannya dengan syara’, misalkan : Mendekatkan diri kepada Allah dengan  tidak mau beristri, padahal, agama menghendakinya dan tidak ada pula halangan syar’i, adapun contoh lain seperti mengazabkan diri dengan berbagai ,macam siksa, membakar diri supaya lekas  mati, dengan demikian agar lekas masuk surga, seperti yang dilaksanakan bangsa india, dan seperti yang dilakukan kaum Syi’ah di hari Asyura, yaitu menggarukgaruk muka, menampar-nampar pipi, karena Al-Husain dibunuh pada hari itu, kemudian juga misalkan menyamakan riba dengan penjualan, dengan jalan mengatakan bahwa riba dan penjualan itu, sama-sama mencari untung. 

9) Idhafiyah : Bid’ah yang terdapat padanya dua aspek, atau dapat ditinjau dari berbagai segi, dari satu aspek bisa menjadi sunah, tapi dari aspek lain bisa menjadi bid’ah, Contohnya, Shalat raghaib, dua belas rakaat, dikerjakan dimalam jum’at yang pertama dari bulan Rajab. Semua ulama mengatakan, sembahyang raghaib itu bid’ah qabihah, kemudian yang lain misalkan, Shalat nifshu Sya’ban, seratus rakaat, Shalat imam, Shalat bakti kepada ibu-bapa, Shalat pada hari Asyura, contoh lainnya misalkan Melagu-lagukan azan sehingga rusak bacaanya, ataupun membaca Shamadiyah seratus ribu, yang disebut Itaqah Kubra (untuk memerdekakan orang yang mati dari neraka), atau membaca Jalalah (tahlil) 70.000 yang dinamai Itaqah Sugra. 

10) Kulliyah :  Bid’ah yang mendatangkan kecederaan yang umum, seperti misalkan mengingkari hadis-hadis nabi lantaran mencukupkan dengan Al-quran saja. 

11) Juz-iyah : Bid’ah yang mendatangkan kecederaan hanya pada satu pekerjaan saja, seperti misalkan mencederakan azan dengan membuat lagu-lagu, ataupun berdiri sebelah kaki dalam sembahyang. 

12) Ibadiyah : Bid’ah yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 

13) Adiyah : Bid’ah yang dikerjakan bukan dengan maksud Ibadat.

Penggolongan yang tersebut di atas adalah penggolongan ‘aam, yakni yang dilaksanakan oleh kedua golongan yakni Ahli Ushul dan golongan fukaha.
 
Sementara itu adapun bid’ah yang dikategorikan dari sisi tingkatan Hukumnya yang dikemukakan oleh Ibnu Abdus Salam, yakni :

 
1. Wajibah, yakni bid’ah yang diwajibkan. Contohnya : belajar Ilmu nahwu, Belajar ilmu kedokteran, Ekonomi, Kepemimpinan, dan sebagainya, yang pada intinya mendukung dalam perkembangan dan kejayaan Islam. 


2. Muharramah, yakni bid’ah yang diharamkan. Contohnya mengikuti faham sesat seperti faham qadariah, jabariah, atau mujasimah, serta berbuat syirik kepada Allah, bid’ah ini disebut pula bid’ah dhalalah (sesat). 

3. Bid’ah Mandhubah, yakni bid’ah yang dibolehkan jika dipandang baik untuk kemaslahatan umat meski tidak terdapat pada masa Rasulullah. Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, penelitian-penelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang sifatnya, memperjelas kebenaran isi ayat Al-Quran.  

4. Bid’ah Makrulah, yakni bid’ah yang dimakruhkan.contohnya : memperindah atau menghiasi masjid , mushaf yang berlebihan. 

5. Bid’ah Mubah, yakni bid’ah yang dimubahkan. Contohnya: berjabat tangan setelah shalat Shubuh dan Isya, membuat hidangan (makanan dan minuman), serta bersolek untuk ibadah.
 
3. Contoh perbuatan apa saja yang tergolong bid’ah di Indonesia ? 

 
Indonesia merupakan Negara majemuk, keberagaman yang ada bukan hanya pada lingkup Suku, Bahasa, kebudayaan, namun juga dari aspek Agama. Dengan keberagaman Agama yang ada umat Islam dituntut untuk bisa berbaur, berinteraksi, dan bekerjasama dengan Agama lain dari sisi kehidupan bermasyarakat. dan tentu akan saling mempengaruhi, temasuk dari sisi kebiasaan, peraturan, maupun dari aspek agama. Maka tidak mustahil akan terjadi pembauran praktik-praktik keagamaan yang cukup membahayakan (talfiq) dan menganggu kerukunan umat beragama.

 
Dalam Islam pengaruh itu bukan hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam Islam itu sendiri, seperti munculnnya aliran-aliran atau tarikat-tarikat, misalkan Al-Washiliyah, Al-Qadariyah, An-Naqsabandiyah, At-Tijaniyah, Asy-Syathariyah, dan sebagainya. 


kelompok ini seringkali memberikan warna yang berbeda dalam ajaran Islam, bahkan tidak jarang satu sama lain saling mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar, kondisi semacam inilah yang mewarnai kehidupan beragama di Indonesia.

Pengaruh lain bagi umat Islam di Indonesia yakni munculnya praktik-praktik ritual Islam, yang sebenarnya bukan bersumber dari Islam, yang pada akhirnya akan menjauhkan diri dari akidah Islamiyah, dan muncullah praktik-praktik permusyirikan, pemujaan, perdukunan, dan lain-lain yang kian hari makin menjamur.


Adapun pada makalah ini, akan diberikan beberapa penjelasan dan contoh terkait perilaku, kebudayaan, dan kebiasaan yang bisa dikategorikan termasuk perbuatan bid’ah di Indonesia. Contoh-contoh yang akan dibahas , yakni : Kejawen, dan selanjutnya akan di ulas terkait tingkeban (Syukuran 7 bulan bagi wanita hamil). 


1) Umat Islam dan Kejawen
  


Kejawen berasal dari bahasa jawa (dialek jawa tengah), yakni dari kata jawi. Sesuai dengan asal kelahirannya kejawen mengandung pengertian luas tentang adat istiadat, yakni segala unsur naluri (tradisi kepercayaan) leluhur orang-orang Jawa tengah di masa lampau. 

Kejawen dalam arti kepercayaan, bertujuan untuk melepaskan diri dari segala ajaran luar jawa, seperti Islam, Kristen, hindu, dan lainnya, namun ada juga yang mengambil sumber ajarannya dari Hindu-Budha yang disebut Yoga Trantisme Hindu-Budha, bahkan adapula diambil dari ajaran Islam, maupun sebaliknya umat Islam yang terpengaruh Kejawen., seperti membakar kemenyan pada saat melakukan upacara keagamaan, selamatan, ataupun kenduri, memberi sesajian dan sesembahan untuk Nyi Roro Kidul, dan sebagainya.  E.D Kartohajo dalam bukunya “Materi Aliran-Aliran kebatinan di Indonesia”, membagi Aliran kebatinan, ke dalam lima kelompok : 

1) Kelompok yang ajarannya mengambil intisari dari ajaran-ajaran yang telah ada seperti pangestu.

2) Kelompok yang ajarannya semacam doktrin (Dogma) yang mengharuskan setiap pengikut untuk mengaku sesepuh mereka sebagai Nabi, wali, atau ratu adil, seperti orang suci di akhir zaman Sapto Darmo. 

3) Kelompok yang ajarannya berdasar kepada adat seperti masyarakat Baduy. 

4) Kelompok yang bertendensi politik. 

5) Kelompok perorangan yang berlatar kekecewaan, perasaan tidak puas, kesulitan ekonomi, bahkan ada yang sampai mediskreditkan agama.

Dari Aliran-aliran  di atas, adalah aliran pangestu yang banyak mempengaruhi kehidupan umat Islam (terutama jawa). Penganut aliran ini melakukan ibadah-ibadah Islam yang tidak sesuai dengan syari’at, seperti Shalat, mereka hanya melakukannya dua kali sehari-semalam, yaitu di waktu senja dan fajar, sedangkan rukunya ada sepuluh yakni : Menghadap ke barat, berdiri tegak, mengangkat tangan, bersedekap, membungkukan badan, bersujud, duduk bersimpuh, berdzikir, berpaling ke kanan,berpaling ke kiri.


Ajaran-ajaran kebatinan (kejawen) pada dasarnya telah menyimpang dari ajaran Islam, meskipun penganutnya mengatakan bahwa mereka adalah Islam. Ajaran mereka tidak lebih sebagai wujud sinkretisme dari berbagai ajaran dan adat istiadat. Umat Islam sudah seharusnya memahami Islam dalam memandang ajaran nenek moyang. Menurut Islam, ibadah yang mengikuti ajaran nenek moyang dianggap suatu penyelewengan dari ajaran Islam, dan termasuk kategori Jahiliah Modern. Yang termasuk kelompok jahiliah modern adalah orang yang beribadahnya hanya mengikuti dasar hukum yang diproses akal manusia, termasuk mengikuti ajaran para leluhur yang tidak berdalil secara abash menurut Islam. Kehidupan manusia yang mengikuti ajaran nenek moyangnya telah digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut :

 
“ Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang yelah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami’,’(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ? ” (QS. Al-Baqarah 170).
Ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang ajaran nenek moyang dalam Al-Quran seperti juga pada Surat : Al-Maidah: (104), Luqman: (21), Al-Ahzab (67-68), dan Az-Zukhruf : (23-24).     

2) Umat Islam dan Tingkeban  

Upacara Tingkeban atau sedekah Nujuh Bulan (Bagi wanita hamil) merupakan tradisi ritual yang masih dilakukan oleh umat Islam di Indonesia. Adakah ini bersumber dari Islam atau pengaruh dari luar ?, bagaimana hukumnya ?, mengapa harus tujuh bulan, dan bukan empat bulan ?  Untuk menjawab semua ini, kita perlu menghubungkannya dengan masalah proses kejadian Manusia berdasarkan Al-Quran manusia itu terjadi dari setetes air mani (sperma lakilaki) yang berhasil membuahi (rahim wanita), sebagaiaman firman Allah :
 
“ Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam Rahim).” (QS.Al-Qiyamah:37).


Tahap proses terjadinya manusia, secara lengkap, dijelaskan dalam Surat Al-Hajj:(5). Ayat-ayat Al-Quran bersifat Mujmal (global), maka dalam beberapa hadis nabi dipaparkan dengan jelas mengenai proses terciptanya manusia, seperti salah satu hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Iman Bukhari dan Muslim, dari Abi Abdur Rahman. Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa proses diciptakannya manusia dimulai dari setetes air mani (nutfah) yang berada dalam Rahim selama 40 hari, setelah janin berusia 40 hari (4 bulan), maka Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, dan sekaligus menetapkan empat perkara: rizki, ajal, amal, dan nasib (si janin kelak), apakah bahagia atau celaka.

Karena itu pada saat usia wanita hamil empat bulan, seyogyanya keluarga muslim memohon doa kepada Allah SWT agar si janin berada dalam hidup sempurna dan selamat lahirbatin di dunia dan akhirat kelak.

Jadi kalau kita melihat penjelasan di atas, maka pada prinsipnya Islam tidak mengenal tradisi tingkeban atau nujuh bulan. Kalupun ada , namanya selamatan empat bulan, karena sesuai pada saat malaikat meniupkan ruh pada janin, yakni pada usia empat bulan. Itupun pelaksanaanya tidak boleh berlebihan dan tetap berada dalam konteks ajaran Islam. Jika kalupun ingin mengadakan upacara nujuh bulanan maka hendaknya luruskan niatnya, yakni sebagai bentuk syukur kepada Allah bahwa janin itu telah diselamatkan hingga usia tujuh bulan ( tidak keguguran). 

Karena pada dasarnya berdoa dalam Islam dianjurkan, sebagai bentuk permohonan kepada Allah agar si bayi khususnya kelak menjadi manusia shaleh dan muslim yang lurus. 

Sementara itu apabila dilihat Upacara-upacara tingkeban saat ini, banyak yang tidak cocok dengan nilai-nilai Islam, seperti berlebih-lebihan dalam melaksanakan upacara, menggunakan berbagai sesaji-sesajian, dan lainnya. Oleh sebab itu maka inti dari masalah ini adalah, kembalikan lagi kepada niat, apakah upacara nujuh bulanan yang dilakukan merupakan bentuk perwujudan rasa syukur dan doa kepada si janin dan si ibu kepada Allah SWT, ataukah ada tujuan dan maksud lain. Jika tujuannya sebagai bentuk syukur dan proses upacaranya tidak keluar dari yang di syari’ah kan, maka bisa dikategorikan tidak termasuk bid’ah.
 


Kesimpulan 
 
Bid’ah ialah suatu hal baru yang tidak terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, atau dengan kata lain perbuatan maupun perkataan yang dianggap suatu cara agama, padahal itu hanya bersumber dari rasio dan akal manusia itu sendiri dan sama sekali tidak pernah diterangkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.


Bid’ah sendiri baik oleh golongan pertama (ahli ushul), maupun oleh golongan kedua (ahli fiqh), semufakat menggolongkan bid’ah menjadi tiga belas kategori, antara lain: Bid’ah        Fi’liyah,Tarkiyah,Amaliyah,Amaliyah,I’tiqadiyah,Zamaniyah,Makaniyah,Haliyah,Haqiqiyah,Idh afiyah,Kulliyah,Juz-iyah,Ibadiyah,dan Adiyah. 


Di Indonesia sendiri praktik-praktik bid’ah sangat beragam jenisnya, baik yang berkaitan dengan ibadah, maupun ritual-ritual Islam yang sebenarnya bukan bersumber dari Islam, seperti kejawen, Tingkeban (nujuh bulanan), dan lain-lainnya.

Untuk menghindarkan diri kita dari praktik dan perilaku yang akan menodai kemurnian ajaran Islam, hendaknya kita harus bisa memahami dan membedakan, urusan yang berkenaan dengan ibadah dan akidah dengan hal-hal yang menyangkut urusan keduniaan, karena hal-hal yang menyangkut Ibadah, tidak boleh dicampur adukan dengan tradisi-tradisi dan kebiasaan yang bukan berasal dari Islam itu sendiri, dan tidak terdapat dalam dalil ‘aqli (logika) dan naqli (Al-Quran dan Sunnah).

 
Adapun untuk menghindarkan kita dari perilaku bid’ah, terutama dalam beribadah, yakni kita harus memperhatikan tiga faktor yang paling esensial. Pertama, beribadah harus berlandaskan pada kalimat thayyibah (la ilaha illallah Muhammad-dur Rasulullah), Kedua, pelaksanaan Ibadah harus sesuai dengan aturan Allah dan Rasulullah atau yang disebut syari’at Islam. Ketiga, Ibadah seorang muslim hendaknya ditujukan semata untuk mencari ridha Allah tanpa dibarengi berbagai perbuatan syirik, bid’ah, khurafat, tahayul, dan lainnya. (K.H Badruddin Hsubky).


------------------------------------------------------------------------------------------------


Daftar Pustaka : 

Asy Syaikh Mohammad Al-Ghazaly, 1994. “Bukan dari Ajaran Islam (Taqlid, Bid’ah, & Khufarat), diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy, (PT Bina Ilmu : Surabaya, cet.4).

Badruddin Hsubky, 1996. “Bid’ah-bid’ah di Indonesia”, (Gema Insani:Jakarta ,cet.5).

R.E.D. Kartoharjo, Materi, “Materi Aliran-Aliran kebatinan di Indonesia”, (Jakarta: DepAg RI).

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1998. “Kriteria Sunnah & Bid’ah”, (Pustaka Riski Putra: Semarang,).

0 komentar: